Selasa, 13 April 2010

Salib Kasih


Sejarah Salib Kasih

Salib kasih adalah meonumen untuk mengenang dan mengabadikan semua pengorbanan dan jasa misionasir di tanah batak,khususnya DR.I.L Nomensen.Salib kasih dibangun pada bulan Oktober 1993 di Dolok Siatas Barita terletak di kecamatan Siatas Barita arah selatan kampung Tarutung.Konon tempat ini adalah tempat bermukimnya Sombaon.Sombaon adalah Roh Alam yang tinggi martabatnya dalam kepercayaan Batak Kuno.Roh ini sangat ditakuti karena dipercayai dapat menentukan nasih baik maupaun buruk dari orang-orang yang bermukim di sekitarnya sehingga pada waktu itu tidak jarang Sombaon atau tempat ini dipuja-puja dengan memberikan pelean (sesajen) dengan harapan akan mendapat keberuntungan dan keselamatan.
    Dipuncak si atas barita inilah sekitar tahun 1863 yang lalu,DR.I.L.Nomensen menatap lembah Silindung yang begitu indah dan luas,dia berdoa HIDUP ATAU MATI,BIARLAH AKU TINGGAL DI TENGAH-TENGAH BANGSA INI UNTUK MENYEBARKAN FIRMAN DAN KERAJAANMU
    Peristiwa ini mengawali bakal kehidupan baru orang-orang batak yang belum mengenal kristen untuk meninggalkan animisme.Atas jasanya,dia disebut sebagai Apostel pertama Orang batak.
    Akan tetapi Puncak siatas barita yang dianggap angker dan menakutkan sudah menjadi Taman Eden mini yang dikunjungi banyak oran dan setiap orang yang berkunjung kesana akan memperoleh kedamaian hati dan pikiran.Salib Kasih dengan ketinggian 31 meter disangga dan ditopang oleh tiga tiang raksasa sebagai lambang Trinitas.Di bawah Salib tersebut terdapat sebuah ruangan kecil tempat berdoa dan didepannya terhampar tempat duduk dengan kapasitas 600 orang serta dilengkapi dengan sebuah mimbar persis dibelakang mimbar menatap jauh ke hamparan rura silindung.
    Lokasi ini ditata dengan taman rekreasi yang indah dan sejuk.Terdapat juga arena bermain serta Open stage yang menjadi panggung persembagahan lagu-lagu rohani.
    Pada malam hari nampaklah Salib Kasih dengan cahayanya,melengkapi Tarutung sebagai kota Wisata Rohani yang sejuk.

Napak Tilas Nommensen di Salib Kasih

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.
Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.
Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika berusia 15 tahun.
Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul, ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.


“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin”
(Dr. Ingwer Ludwig Nommensen)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar